Sejenak mata ini masih membiasakan puluhan titik cahaya yang masuk ke dalamnya. Sedikit demi sedikit saya bisa melihat atap rumah jadul yang tidak berubah sejak tahun 30-an ini. Memang suasana khas rumah pedesaan di kabupaten kecil selalu terasa indah. Sekarang saya berada di Desa Ngares Kabupaten Trenggalek, sebuah desa yang penuh kenangan di dalamnya, karena di sinilah keluarga dari ayahku tinggal.
“Wis ndhuk gek ndang adang nasi” –“Sudah, ayo nak segera menanak nasi”, kata nenekku yang mencoba memberikan periuk besar kepadaku.
Pemikiran orang dulu memanglah unik. Tak habis pikir kenapa di jaman seperti ini masih tetap mempertahankan sistem masak yang lama itu. Dengan sedikit malas akupun beranjak dan mulai mengambil beras hasil panen sendiri itu.
“Sing tradisional mesti luwih enak, apa maneh kasile tanah dhewe” – “Yang tradisional musti lebih enak, apalagi kalau hasil tanah sendiri”, nenek kembali menyadarkan lamunanku, entah darimana ia bisa tahu bahwa aku sedang memikirkan hal itu.
Nasi ini tidak sepenuhnya bersih dan putih seperti yang dijual di supermarket besar di kota, tapi entah mengapa ketika jadi rasanya tak kalah enak, walaupun kadang ada kerikil yang ikut masuk ke dalam mulutku.
Sudah sekitar 30 menit aku menunggu beras itu berubah jadi nasi, tapi apa daya, api yang tidak konsisten dalam menyalakan apinya tentu tidak akan mudah bagi beras untuk mematangkannya.
Aku jadi teringat ketika pernah melakukan ekspedisi ke salah satu daerah 4T yang berada di Kalimantan Timut. Boro-boro ada listrik, wudhu dan mandi saja harus ke sungai karena minimnya infrastruktur yang ada di sana. Namun, memiliki aliran listrik bukanlah hanya sebuah angan. Melihat segala keterbatasan tersebut, warga beserta pemerintah setempat akhirnya memanfaatkan limbah industri kelapa sawit. Energi ini bisa menghasilkan kapasitas listrik yang lumayan besar, sekitar 500MW.
Berdasarkan itulah, aku tetap yakin bahwa tidak ada yang namanya tertinggal jika kita terus berusaha untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Tidak ada yang namanya kuno jika kita terus berinovasi.
Tekad dalam diriku akhirnya semakin kuat. Beberapa hari kemudian kubelikan nenek sebuah rice cooker merk Polytron agar hari-harinya tidak harus terkuras banyak di dapur. Ada alasan dibalik mengapa aku membeli rice cooker merk ini, selain harganya terjangkau, desain, dan kualitasnya terbaik. Sistem pemanas dari 3 arahnya menjadikan nasi lebih cepat matang dengan hasil pulen.
Ia pun dengan tidak begitu gembira menyambut benda tersebut menghiasi rumah.
Aku tidak sepenuhnya menyalahkan keadaan tersebut. Seperti halnya ketika pandemi COVID-19 yang benar-benar mengganggu kehidupan kita di tahun 2020, banyak orang yang mengungkapkan diri mereka sebagai Creature of Habit, dimana rutinitas yang biasa dilakukan akan terasa tidak nyaman.
Perusahaan tutup, keluarga tinggal di rumah, jadwal yang biasanya penuh jadi lebih lengang. Mungkin itu adalah penyesuaian yang sulit bagi banyak dari kita. Namun sekarang, kita berada di tengah perubahan besar berikutnya saat kantor dibuka kembali untuk lingkungan kerja yang sepenuhnya tatap muka atau hybrid. Meskipun kedengarannya cukup mudah, ini akan menjadi transisi sulit bagi semua orang yang menghabiskan tahun lalu membentuk kebiasaan baru yang bekerja dari rumah. Namun, nyatanya kita hanya takut memikirkan hal itu hingga new normal berjalan begitu saja.
Pertumbuhan bukanlah proses yang sederhana, bukan hanya garis lurus yang mengarah dari A ke B. Tapi kenapa? Karena pastinya kita ingin tumbuh menjadi sesuatu yang baru, membebaskan diri dari cara hidup saat ini.
Lihat saja dari merk rice cooker tadi. Sejak dimulai pada tahun 1975, perusahaan yang merupakan anak dari pabrik tembakau tersebut justru ingin sesuatu yang berbeda, yaitu memproduksi produk elektronik. Dari yang awalnya hanya mempekerjakan 14 orang lulusan SMA, akhirnya berhasil meluncurkan produk televisi pertama mereka. Perjalanan menjadi yang terbaik pun tidak berhenti di sini. Produk tersebut pun gagal setelah beberapa waktu. Mereka menyadari bahwa memang tidak mudah bagi pabrik tembakau yang mencoba mendominasi industri elektronik.
Dari yang awalnya kembali meluncurkan produk TV hitam putih, Polytron berkembang dengan mengembangkan teknologi TV berwarna hemat energi dalam berbagai ukuran. Pada saat itu tentunya hal tersebut merupakan hal yang sangat dilirik pasar dunia. Hingga Polytron dapat mengekspor produknya ke luar negeri.
Kini produk Polytron menjadi merk yang tak lagi asing didengar. Merk lokal pun ternyata bisa memangsa pasar dunia. Polytron adalah produk dalam negeri yang dapat bertahan dari ombak pasang surut industri elektronik Indonesia.
Dari hal itu, aku menyimpulkan bahwa pertumbuhan dan inovasi seringkali tidaklah nyaman, tetapi itu perlu.
Hingga akhirnya nenekku mengakui bahwa hidupnya lebih terbantu dengan produk elektronik tersebut. Tak ada lagi yang namanya buang-buang waktu. Hal modern bukan menjadi penghancur yang tradisional, namun justru pembuka makna akan pentingnya berinovasi dan bernilai.
www.polytron.co.id